Perencanaan merupakan proses penentuan
tujuan organisasi (perusahaan) dan kemudian menyajikan (mengartikulasikan) dengan
jelas strategi-strategi (program), taktik-taktik (tata cara pelaksanaan
program), dan operasi (tindakan) yang diperlukan untuk mencapai tujuan
perusahaan secara menyeluruh.
Perencanaan strategis dalam organisasi
merupakan salah satu aspek dari materi manajemen strategis yang selalu
diperlukan oleh setiap organisasi. Setiap perubahan lingkungan yang terjadi
memerlukan respons strategis, baik dalam perencanaan, pelaksanakan, maupun
evaluasi.
Dari sebutan semula perencanaan
perusahaan, berkembang menjadi strategi perusahaan, perencanaan strategis,
kebijakan bisnis, dan akhirnya menjadi manajemen strategis, yang berisi
bagaimana pimpinan puncak suatu organisasi
menanggapi perubahan lingkungan yang sangat kompleks dan dinamis
tersebut.
Agar dapat mencapai tujuan, setiap
perusahaan melakukan dua fungsi pokok, yaitu:
1. Fungsi
bisnis yang meliputi bidang pemasaran, produksi, keuangan, sumber daya manusia,
penelitian dan pengembangan, dan sebagainya.
2. Fungsi
Manajerial yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan
pengawasan.
Tugas manajer perusahaan adalah
mengambil keputusan yang didasarkan pada keterpaduan antara kedua fungsi
tersebut sehingga mencapai keterpaduan di tingkat atas. Menurut Glueck dan
Jauch (1980) seperti yang dikutip oleh Martani Husaeni (1989), yang mengarah
kepada perkembangan suatu strategi yang efektif untuk membantu mencapai sasaran
perusahaan.
Beberapa risiko yang mungkin timbul
karena investasi, antara lain:
a)
Risiko penghasilan,
timbul karena adanya ketidakpastian penerimaan operasi dari biaya saat ini,
ketidakpastian atas harga keluaran (output) perusahaan dibandingkan dengan
biaya (input) dimasa yang akan datang.
b)
Risiko Modal, timbul
karena ketidakpastian ekonomi atas biaya depresiasi sebab asset yang cepat
usang atau berganti mode. Akibatnya, asset yang diinvestasikan sudah
ketinggalan jaman sehingga tidak mampu bersaing lagi.
c)
Risiko Keuangan, timbul
karena ketidakpastian tingkat biaya bunga atas dana pinjaman, akibatnya mungkin
perusahaan tidak mampu membayar kembali pinjaman dan bunganya.
d)
Risiko Inflasi, timbul
karena ketidakpastian tingkat inflasi pada masa yang akan datang. Ia akan
berpengaruh terhadap penghasilan dan biaya untuk mengganti asset perusahaan di
masa yang akan datang.
e)
Risiko atas keputusan
yang tidak dapat diubah, timbul karena pembelian asset atau biaya yang sudah
dikeluarkan tidak dapat digunakan untuk keperluan lainnya. Oleh karena itu,
investor harus betul-betul memperhitungkan masalah waktu.
f)
Risiko politik, timbul
karena adanya perubahan kebijakan pemerintah, misalnya kebijakan pemerintah
dalam bidang perpajakan (Tax Policy) yang disesuaikan dengan kondisi
perekonomian suatu negara maupun untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pajak merupakan pungutan berdasarkan
undang-undang oleh pemerintah, yang sebagian dipakai untuk penyediaan barang
dan jasa publik. Besar pajak dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal
maupun eksternal. Secara administratif pungutan pajak dapat dikelompokkan
menjadi pajak langsung dan pajak tidak langsung. Bagi perusahaan, pajak yang
dikenakan terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh dapat dianggap
sebagai biaya dan beban dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan maupun
distribusi laba kepada pemerintah (Smith dan Skousen, 1987).
Secara ekonomis, pajak merupakan unsur
pengurang laba yang tersedia untuk dibagi atau diinvestasikan kembali oleh
perusahaan. dalam praktik bisnis, umumnya pengusaha mengindentikan pembayaran
pajak sebagai beban sehingga akan berusaha untuk meminimalkan beban tersebut
guna mengoptimalkan laba. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan daya saing
maka manajer wajib menekan biaya seoptimal mungkin.
Pengelolaan
kewajiban pajak sering diasosiasikan dengan suatu elemen dalam manajemen dalam
suatu perusahaan yang disebut manajemen pajak. Manajemen pajak merupakan bagian
dari manajemen keuangan. Manajemen keuangan adalah segala aktivitas yang
berhubungan dengan perolehan, pendanaan, dan pengelolaan aset dengan beberapa
tujuan secara menyeluruh. Tujuan manajemen pajak harus sejalan dengan tujuan
manajemen keuangan, yaitu memperoleh likuiditas dan laba yang memadai.
Pada dasarnya, ada dua hal yang perlu
dilakukan perusahaan berhubungan dengan pajak. Langkah pertama yaitu mulai
dengan mendaftarkan diri sebagai wajib pajak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP) dan terdaftar di salah satu Kantor Pelayanan Pajak, melaksanakan
akuntansi perpajakan, serta membayar dan menyampaikan SPT masa tahunan sesuai
dengan jenis pajaknya pada tanggal yang telah ditentukan. Langkah kedua adalah
merencanakan pajak (tax planning) yaitu dengan memperhitungkan pengaruh
pengambilan keputusan tertentu terhadap kewajiban pajaknya, misalnya keputusan
untuk melakukan investasi.
Studi tentang manajemen strategi
menekankan pada pemantauan dan evaluasi kesempatan-kesempatan dan
hambatan-hambatan lingkungan, di samping kekuatan-kekuatan dan
kelemahan-kelemahan perusahaan.
Manajemen pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan
dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin
untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan (Sophar
Lumbantoruan,1996).
Menurut Zain (2005:5) manajemen pajak
adalah merupakan suatu proses mengorganisasikan usaha wajib pajak atau kelompok
wajib pajak sedemikian rupa sehingga hutang pajaknya baik pajak penghasilan
maupun pajak-pajak lainnya berada dalam posisi seminimal mungkin, sepanjang hal
ini dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku.
Tujuan manajemen pajak dapat menjadi
dua, yaitu :
a) Menerapkan
peraturan perpajakan secara benar
b) Usaha
efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya
Tujuan manajemen pajak dapat dicapai
melalui fungsi-fungsi manajemen pajak yang terdiri atas:
Perencanaan pajak adalah langkah awal
dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian
terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan
pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya penekanan perencanaan pajak adalah untuk
meminimumkan kewajiban pajak.
Perencanaan pajak merupakan tindakan
legal pengendalian transaksi terkait dengan konsekuensi potensi pajak, pajak
yang dapat mengefisiensikan jumlah pajak yang ditransfer ke pemerintah.
Perencanaan Pajak adalah merekayasa agar beban
pajak (Tax Burden) serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada
tetapi berbeda dengan tujuan pembuatan Undang-undang maka tax planning disini
sama dengan tax avoidance karena secara hakikat ekonomis kedua-duanya berusaha
untuk memaksimalkan penghasilan setelah pajak (after tax return) karena pajak
merupakan unsur pengurang laba yang tersedia baik untuk dibagikan kepada
pemegang saham maupun diinvestasikan kembali.
Dalam buku Mohammad Zain (2006 : 67)
pengertian perencanaan pajak adalah sebagai berikut: “Perencanaan pajak
merupakan tindakan penstrukturan yang terkait dengan konsekuensi potensi
pajaknya, yang tekanannya kepada pengendalian setiap transaksi yang ada
konsekuensi pajaknya. Tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat
mengefisienkan jumlah pajak yang akan di transfer ke pemerintah, melalui apa
yang disebut sebagai penghindaran pajak (tax avoidance) dan bukan penyeludupan
pajak (tax evasion) yang merupakan tindak pidana fiskal yang tidak akan di
toleransi. Walaupun kedua cara tersebut kedengarannya mempunyai konotasi yang
sama sebagai tindak kriminal, namun suatu hal yang jelas berbeda disini bahwa
penghindaran pajak adalah perbuatan legal yang masih dalam ruang lingkup
pemajakan dan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, sedang penyeludupan pajak jelas-jelas merupakan perbuatan illegal
yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”
Perencanaan perpajakan umumnya selalu
dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi atau fenomena terkena pajak.
Kalau fenomena tersebut terkena pajak, apakah dapat diupayakan untuk
dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya, selanjutnya apakah pembayaran
pajak dimaksud dapat ditunda pembayarannya, dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, setip wajib pajak akan membuat rencana pengenaan pajak atas setiap
tindakan secara seksama. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa perencanaan
pajak adalah proses pengambilan faktor non pajak yang material untuk
menentukan:
a)
Apakah
b)
Kapan
c)
Bagaimana, dan
d)
Dengan siapa dilakukan
transaksi, operasi, dan hubungan dagang yang memungkinkan tercapainya beban
pajak pada tax events yang serendah mungkin dan sejalan dengan tercapainya
tujuan perusahaan.
Untuk meminimumkan kewajiban pajak dapat
dilakukan dengan berbagai cara baik yang masih memenuhi ketentuan perpajakan
(lawful) maupun yang melanggar peraturan perpajakan (unlawful). Ukuran yang
digunakan dalam mengukur kepatuhan perpajakan wajib pajak, adalah:
a. Tax
saving
Yaitu upaya wajib pajak mengelakkan
hutang pajaknya dengan jalan menahan diri untuk tidak membeli produk–produk
yang ada pajak pertambahan nilainya atau dengan sengaja mengurangi jam kerja
atau pekerjaan yang dapat dilakukannya sehingga penghasilannya menjadi kecil
dan dengan demikian terhindar dari pengenaan pajak penghasilan yang besar.
Misalnya dengan mengubah imbalan natura bagi karyawan yang tidak boleh di biayakan
menjadi tunjangan yang dapat di biayakan sebagai Obyek PPh Pasal 21. Contoh:
perusahaan, yang memiliki penghasilan kena pajak lebih dari Rp 100 juta, dapat
melakukan perubahan pemberian natura kepada karyawan menjadi tunjangan dalam
bentuk uang. Penghematan pajak atas perubahan ini berkisar antara 5-25% untuk
penghasilan karyawan sampai dengan Rp 200 juta.
b. Tax
avoidance,
Yaitu upaya wajib pajak untuk tidak
melakukan perbuatan yang dikenakan pajak atau upaya-upaya yang masih dalam
kerangka ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk memperkecil
jumlah pajak yang terhutang. Misalnya, perusahaan, yang masih mengalami
kerugian perlu mengubah tunjangan karyawan dalam bentuk uang ke pemberian
natura sehingga natura tersebut bukan merupakan objek pajak PPh pasal 21.
Dengan demikian, terjadi penghematan pajak 5-35%. Contoh lainnya antara lain
dengan cara tidak membeli BBM Premium, diganti dengan energi batubara yang
diambil dari sumbernya yang bebas dari PPN dan tidak melalui pembayaran pemungutan
PPh Pasal 22 Industri sehingga pembayaran PPh Pasal 22 FINAL BBM dan PPN
Premium dapat dihindarkan.
c. Tax
evasion / Menghindari pelanggaran atas peraturan perpajakan
Yaitu upaya wajib pajak dengan penghindaran pajak
terhutang secara illegal dengan cara menyembunyikan keadaan yang sebenarnya.
Dengan menguasai peraturan pajak yang berlaku, perusahaan dapat menghindari
timbulnya sanksi perpajakan yaitu :
1) Sanksi
Administrasi, berupa bunga, denda atau kenaikan.
2) Sanksi
Pidana, berupa pidana atau kurungan.
d. Menunda
pembayaran kewajiban pajak
Menunda pembayaran kewajiban pajak tanpa
melanggar peraturanyang berlaku dapat dilakukan melalui penundaan pembayaran
PPN. Penundaan ini dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak keluaran
hingga batas waktuyang diperkenankan, khususnya untuk penjualankredit. Dalam
hal ini, penjual dapat menerbitkan faktur pajak pada akhirbulan berikutnya
setelah bulan penyerahan barang.
e. Mengoptimalkan
kredit pajak yang diperkenankan
Wajib Pajak sering kurang memperoleh
informasi mengenai pembayaran pajak yang dapat dikreditkan yang merupakan
pajakdibayar dimuka. Misalnya, PPh Pasal22 atas pembeliansolar dan/atau impor
dan Fiskal Luar Negeri atas perjalanan dinas pegawai.
Adapun aspek-aspek dari manajemen
perpajakan adalah sebagai berikut:
a.
Aspek formal dan
administratif perencanaan pajak
1)
Sanksi administrasi maupun pidana merupakan
pemborosan sumber daya sehingga perlu dihindari melalui suatu perencanaan pajak
yang baik.
2)
Aspek administratif dari kewajiban perpajakan
meliputi kewajiban mendaftar diri untuk memperoleh NPWP dan pengukuhan
pengusaha kena pajak (PKP), menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan,
membayar pajak, Menyampaikan SPT, di samping memotong atau memungut pajak.
3)
Dalam sistem perpajakan selalu dipisahkan
antara assessment dengan sistem pembayaran. Assessment yang berlaku saat ini
adalah self assessment yaitu kewajiban untuk menghitung sendiri, membayar
sendiri, dan melaporkan sendiri. Atau dengan sistem pemotongan oleh pihak
ketiga (withholding system).
b.
Aspek Material dalam
perencanaan pajak
Pajak dikenakan terhadap objek pajak
yang dapat berupa keadaan, perbuatan, maupun peristiwa. Basis perhitungan pajak
adalah objek pajak. Maka untuk mengoptimalkan alokasi sumber dana, manajemen
akan merencanakan pembayaran pajak yang tidak lebih bayar (karena dapat
mengurangi optimalisasi alokasi sumber daya) dan tidak kurang (supaya tidak
membayar sanksi administrasi yang merupakan pemborosan dana).
c.
Penghindaran sanksi
pajak
Sistem perpajakan menganut prinsip
substansi mengalahkan bentuk formal. Walaupun perusahaan telah memenuhi
kewajiban perpajakan secara formal, tetapi kalau ternyata substansi menunjukkan
lain atau motivasi rekayasa tidak sesuai dengan jiwa dari ketentuan perpajakan,
fiskus dapat menganggap bahwa wajib pajak kurang patuh dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya. Apabila terjadi perbedaan interpretasi fakta perpajakan, lembaga
peradilan pajak yang akan memutuskan.
Setidak-tidaknya terdapat tiga hal yang
harus diperhatikan dalam suatu perencanaan pajak (tax planning) :
1)
Tidak melanggar kewajiban dan ketentuan
perpajakan. Bila suatu perencanaan pajak ingin dipaksakan dengan melanggar
ketentuan perpajakan buat WP merupakan resiko yang sangat berbahaya dan
mengancam keberhasilan perencanaan pajak tersebut.
2)
Secara bisnis perencanaan pajak masuk akal,
karena perencanaan pajak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
perencanaan menyeluruh perusahaan, baik jangka panjang maupun jangka pendek.
Maka perencanaan pajak yang tidak masuk akan akan memperlemah perencanaan itu
sendiri.
3)
Bukti-bukti pendukungnya yang memadai
d.
Penundaan Pembayaran
Kewajiban Pajak
Menunda pembayaran kewajiban pajak tanpa
melanggar peraturan yang berlaku dapat dilakukan melalui penundaan pembayaran
PPN. Penundaan ini dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak keluaran
sampai dengan batas waktu yang diperkenankan, khususnya untuk penjualan kredit.
Dalam hal ini penjual dapat menerbitkan faktur pajak pada akhir bulan
berikutnya setelah bulan penyerahan barang.
e.
Mengoptimalkan Kredit
Pajak yang Diperkenankan
Wajib pajak seringkali kurang mendapat
informasi mengenai pembayaran pajak yang dapat dikreditkan. Sebetulnya
pembayaran tersebut merupakan pajak yang dibayar dimuka. Misalnya, kredit pajak
untuk PPh badan terdiri dari PPh pasal 22 atas pembelian solar dan/atau impor
dan fiskal luar negeri atas perjalanan dinas pegawai. Dalam hal kredit pajak
PPN (Pajak Masukan), Pengusaha Kena Pajak cukup menggunakan dokumen lain yang
fungsinya sama dengan faktur pajak standar, seperti SPPB atau Surat Perintah
Pengiriman Barang (delivery order) yang dikeluarkan oleh Bulog untuk penyaluran
tepung terigu, PNBP (Paktur Nota Bon Penyerahan) yang diikeluarkan oleh
pertamina untuk penyerahan BBM dan atau bukan BBM, serta tanda pembayaran atau
kuintasi telepon.
f.
Hindarkan Lebih Bayar
Akibat Salah Tulis / Salah Hitung
Lebih Bayar akibat salah tulis dan salah
hitung akan mengakibatkan risiko Pemeriksaan Pajak yang berdampak kepada
penyisihan waktu kantor yang berharga untuk kegiatan bisnis harus disediakan
untuk pelayanan bagi Pemeriksa Pajak.
g.
Hindarkan Pelanggaran
Terhadap Peraturan Perpajakan
Menghindarkan pelanggaran terhadap
peraturan perpajakan dapat dilakukan dengan cara berusaha menguasai peraturan
perpajakan yang berlaku sehingga terhindar dari Sanksi Perpajakan dan
sejenisnya.
a.
Menganalisis informasi
yang ada (analyzing the existing data base)
Tahapan pertama dari proses pembuatan
tax planning adalah menganalisis komponen yang berbeda atas pajak yang terlibat
dalam suatu proyek dan menghitung seakurat mungkin beban pajak yang harus
ditanggung.
Ini hanya bisa dilakukan dengan
mempertimbangkan masing-masing elemen dari pajak baik secara sendiri-sendiri
maupun secara total pajak yang harus dapat dirumuskan sebagai perencanaan pajak
yang paling efisien. Adalah juga penting untuk memperhitungkan kemungkinan
besarnya penghasilan suatu proyek dan pengeluaran-pengeluaran lain diluar pajak
yang mungkin terjadi.
b.
Membuat satu atau lebih
model kemungkinan jumlah pajak (designing
one or more possible tax plans)
Model perjanjian internasional dapat
melibatkan satu atau lebih tindakan berikut ini:
1. Pemilihan
bentuk transaksi operasi atau hubungan internasional.
Hampir semua perpajakan internasional paling tidak ada dua negara yang ditentukan lebih dahulu. Dari sudut pandang perpajakan dalam hal ini proses perencanaan tidak bisa berada di luar dari tahapan pemilihan transaksi, operasi dan hubungan yang paling menguntungkan. Metode yang harus diterapkan dalam menganalisis dan membandingkan beban pajak maupun pengeluaran lainnya dari suatu proyek adalah apabila tidak ada rencana pembatasan minimum pajak yang diterapkan dan apabila ada rencana pembatasan minimum diterapkan, berhasil atau pun gagal.
Hampir semua perpajakan internasional paling tidak ada dua negara yang ditentukan lebih dahulu. Dari sudut pandang perpajakan dalam hal ini proses perencanaan tidak bisa berada di luar dari tahapan pemilihan transaksi, operasi dan hubungan yang paling menguntungkan. Metode yang harus diterapkan dalam menganalisis dan membandingkan beban pajak maupun pengeluaran lainnya dari suatu proyek adalah apabila tidak ada rencana pembatasan minimum pajak yang diterapkan dan apabila ada rencana pembatasan minimum diterapkan, berhasil atau pun gagal.
2. Pemilihan
dari negara asing sebagai tempat melakukan investasi atau menjadi residen dari
negara tersebut. Dalam rencana perpajakan internasional mungkin diberi
perlakuan khusus dengan memilih antara dua atau lebih kemungkinan investasi di
negara-negara berbeda.
3. Penggunaan
satu atau lebih negara tambahan.
Dalam banyak kasus, pertimbangan penghemaan pajak tidak hanya di pengaruhi oleh pemilihan yang hati-hati dari bentuk transaksi, operasi maupun hubungan internasional, tetapi juga oleh penggunaan satu atau lebih negara sebagai tambahan dari negara yang bersangkutan yang sudah ada dalam data base. Perencanaan pajak internasional sebetulnya merupakan perluasan yang sederhana dari perencanaan pajak nasional. Dalam membuat model pengaturan yang paling tepat, penting sekali untuk mempertimbangkan.
Dalam banyak kasus, pertimbangan penghemaan pajak tidak hanya di pengaruhi oleh pemilihan yang hati-hati dari bentuk transaksi, operasi maupun hubungan internasional, tetapi juga oleh penggunaan satu atau lebih negara sebagai tambahan dari negara yang bersangkutan yang sudah ada dalam data base. Perencanaan pajak internasional sebetulnya merupakan perluasan yang sederhana dari perencanaan pajak nasional. Dalam membuat model pengaturan yang paling tepat, penting sekali untuk mempertimbangkan.
4. Apakah
kepemilikan dari hak, surat berharga, dan lain-lain harus dikuasakan kepada
satu atau lebih perusahaan, individu, atau kombinasi dari semuanya itu.
5. Adakah
hubungan antara berbagai individu dan entitas.
c.
Mengevaluasi pelaksanaan
perencanaan pajak (evaluating a tax plan)
Perencanaan pajak sebagai suatu
perencanaan merupakan bagian kecil dari seluruh perencanaan strategik
perusahaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana
hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak. Evaluasi
tersebut meliputi :
1. Bagaimana jika rencana tersebut dilaksanakan,
1. Bagaimana jika rencana tersebut dilaksanakan,
2. Bagaimana jika rencana tersebut dilaksanakan
dan berhasil dengan baik,
3. Bagaimana jika rencana tersebut dilaksanakan
tapi gagal.
d.
Mencari kelemahan dan
memperbaiki kembali rencana pajak (debugging the tax plans)
Hasil suatu perencanaan pajak bisa
dikatakan baik atau tidak tentunya harus dievaluasi melalui berbagai rencana
yang dibuat. Dengan demikian keputusan yang terbaik atas suatu perencanaan
pajak harus sesuai dengan bentuk transaksi dan tujuan operasi perbandingan
berbagai rencana harus dibuat sebanyak mungkin sesuai bentu perencanaan pajak
yang diinginan. Kadang suatu rencana harus diubah mengingat adanya perubahan
peraturan perundang-undangan. Walaupun diperlukan penambahan biaya atau
kemungkinan keberhasilan sangat kecil. Sepanjang masih besar penghematan pajak
yang bisa diperoleh, rencana tersebut harus tetap dijalankan. Karena
begaimanapun juga kerugian yan ditanggung merupakan kerugian minimal.
e.
Memutakhirkan rencana
pajak (updating the tax plan).
Meskipun suatu rencana pajak telah
dilaksanakan dan proyek juga telah berjalan, namun juga masih perlu
mempertimbangkan setiap perubahan yang terjadi baik undang-undang maupun
pelaksanaannya di negara dimana aktivitas tersebut dilakukan yang mungkin
mempunyai dampak terhadap komponen dari suatu perjanjian, yang berkenaan dengan
perubahan yang terjadi di luar negeri atas berbagai macam pajak maupun
aktifitas informasi bisnis yang tersedia sangat terbatas. Pemutakhiran dari
suatu rencana adalah konsekuensi yang perlu dilakukan sebagaimana dilakukan
oleh masyarakat yang dinamis. Dengan memberikan perhatian terhadap perkembangan
yang akan datang maupun situasi yang terjadi saat ini, seorang manajer akan
mampu mengurangi akibat yang merugikan dari adanya perubahan, dan pada saat
yang bersamaan mampu mengambil kesempatan untuk memperoleh manfaat yang
potensial.
a.
Legal, tidak bertentangan dengan peraturan
perpajakan yang berlaku
b.
Integral,
merupakan bagian integral dari perencanaan menyeluruh perusahaan
c.
Valid, didukung
dengan bukti-bukti yang memadai, misalnya: agreement. invoice dan accounting
treatment.
d.
Cash flow, berhubungan dengan kegiatan mengendalikan
cash flow.
e.
Net Present
Value, memaksimalkan net present value.
Strategi efesiensi PPh Badan akan lebih
optimal apabila wajib pajak memahami timbulnya perhitungan penghasilan kena
pajak. Penghasilan kena pajak merupakan laba yang dihitung berdasarkan
peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No. 17 tahun 2000 dan
peraturan pelaksanannnya. Karena terjadi perbedaan dalam perhitungan laba
akuntansi dan laba kena pajak, perusahaan dapat memilih perlakuan pajak yang
tepat sehingga dapat menghasilkan efisiensi pajak yang besar. Berikut ini
adalah beberapa cara perencanaan pajak untuk PPh Badan.
a. Menunda
Penghasilan
Misalnya, pembukuan perusahaan ditutup
pada tanggal 31 Desember. Pada bulan Desember tersebut terdapat lonjakan
permintaan. Pajak atas laba akibat lonjakan permintaan tersebut sudah harus
dibayar paling lambat tanggal 25 Maret tahun berikutnya. Di samping itu,
angsuran PPh Pasal 25 tahun berikutnya otomatis akan menjadi lebih besar. Bila
memungkinkan, pengusaha dapat melakukan pendekatan kepada konsumen dan menjual
barangnya pada awal bulan Januari tahun berikut. Dengan demikian, pembayaran
pajaknya dapat ditunda 1 tahun.
b. Mempercepat
Pembebanan Biaya
Pada akhir tahun fiskal sebaiknya
dilakukan review untuk melihat apakah ada biaya-biaya yang dapat segera
dibebankan pada tahun ini. Misalnya, biaya konsultan hukum, konsultan pajak,
dan auditor. Dengan demikian, seperti halnya dengan penundaan penghasilan,
langkah seperti ini akan dapat menunda pembayaran pajak setahun. Namun
demikian, di sisi lain, konsekuensi pembebanan biaya seperti di atas dapat
mengakibatkan kewajiban pemotongan pajak seperti PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 4
(2) sudah harus dilakukan. Untuk itu, perusahaan juga harus mempertimbangkan
aspek perpajakan yang satu ini. Ketika perusahaan untung, alternatif
mempercepat pembebanan biaya seperti di atas akan lebih efektif karena PPh
Badan dapat diturunkan sampai dengan 30% dari total biaya yang dibebankan,
sedangkan dari sudut PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 4(2), perusahaan harus
memotong pajak sebesar masing-masing 6% atau 7,5% dan 10%.
c. Mengoptimalkan
Pengkreditan Pajak yang Telah Dibayar
Selain angsuran PPh Pasal 25, PPh yang
dapat dikreditkan atas PPh Badan yang terutang pada akhir tahun adalah PPh yang
dipotong/pungut pihak lain dan sifat pemotongan/pemungutannya tidak final.
Perusahaan seringkali kurang memperoleh informasi mengenai hal ini. PPh yang
dapat dikreditkan antara lain:
1.
PPh Pasal 22 atas impor
atau pembelian solar dari Pertamina,
2.
PPh Pasal 23 dari bunga
non bank, royalti,
3.
PPh Pasal 24 yang
dipotong di luar negeri, dan
4.
Pembayaran fiskal luar
negeri karyawan (setoran a.n karyawan qq. Perusahaan berikut NPWP perusahaan),
5.
STP PPh Pasal 25 (hanya
pokok pajak) baik telah dibayar maupun belum
6.
PPh atas pengalihan
tanah/bangunan,
Ketika menyusun rekonsiliasi fiskal,
perusahaan harus memperoleh keyakinan yang cukup bahwa pajak yang
dipotong/dipungut pihak lain benar-benar telah disetor oleh pemotong/pemungut
pajak ke kas negara. Keyakinan demikian sangat diperlukan karena pada saat
pemeriksaan pajak petugas akan menempuh prosedur konfirmasi ke bank tempat
pajak yang telah dipotong/dipungut tersebut disetorkan atau ke KPP tempat
pemotong/pemungut tersebut melaporkan SPT-nya. Salah satu caranya adalah dengan
melakukan ekualisasi setiap bulan antara bukti fisik pemungutan PPh 22 dan/atau
pemotongan PPh 23 dengan Uang Muka PPh terkait yang telah dicatat di neraca.
Jika timbul selisih, atas selisih tersebut dapat segera ditindaklanjuti dengan
cara meminta pihak pemungut/pemotong pajak untuk menyerahkan bukti pemungutan/
pemotongannya.
d. Mengajukan
Permohonan Pengurangan Pembayaran Angsuran PPh pasal 25
Kenaikan pembayaran angsuran PPh pasal
25 disebabkan adanya:
1) SKPKB
PPh Badan tahun sebelumnya yang terbit pada tahun berjalan,
2) Kenaikan
laba pada tahun yang lalu,
3) Kenaikan
pada RKAP tahun berjalan (untuk BUMN/D)
Sebagaimana diatur di dalam Keputusan
Dirjen Pajak No. Kep-537/PJ,/2000, apabila sesudah 3 bulan atau lebih
berjalannya suatu tahun pajak, perusahaan dapat menunjukan bahwa PPh yang akan
terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% dari PPh yang terutang yang
menjadi dasar penghitungan besarnya PPh Pasal 25, perusahaan dapat mengajukan
permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25 secara tertulis kepada Kepala KPP
tempat perusahaan terdaftar. Pengajuan permohonan pengurangan besarnya PPh
Pasal 25 sebagaimana dimaksud di atas harus disertai dengan penghitungan
besarnya PPh yang akan terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan
diterima atau diperoleh dan besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang
tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan.
Apabila dalam jangka waktu satu bulan
sejak tanggal diterimanya surat permohonan perusahaan, Kepala KPP tidak
memberikan keputusan, permohonan tersebut dianggap diterima dan perusahaan
dapat melakukan pembayaran PPh Pasal 25 sesuai dengan penghitungannya untuk
bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan. Apabila dalam
tahun pajak berjalan perusahaan mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan
PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut lebih dari 150% dari PPh yang
terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya PPh Pasal 25, besarnya PPh
Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan
harus dihitung kembali berdasarkan perkiraan kenaikan PPh yang terutang
tersebut oleh perusahaan sendiri atau Kepala KPP terdaftar.
e. Mengelola
Transaksi yang Biayanya Tidak Boleh Dikurangkan Secara Fiskal
Seringkali staf akunting perusahaan
menggunakan istilah yang kurang tepat untuk biaya-biaya tertentu sehingga pada
waktu pemeriksaan pajak biaya-biaya tersebut tidak dapat dikurangkan.
Contohnya:
1) Biaya promosi, biaya keamanan, biaya pemasaran
dibukukan dengan nama sumbangan. Berdasarkan
pasal 9 (1) huruf g UU PPh, sumbangan tidak diperkenankan dikurangkan sebagai
biaya.
2) Biaya perjalanan dinas dibukukan sebagai biaya
perjananan direksi yang mengesankan sebagai biaya liburan direksi.
3) Biaya latihan pegawai dibukukan sebagai biaya
rekreasi pegawai.
4) Pemberian uang tips kepada oknum di institusi
tertentu atau dalam rangka pengurusan dokumen dicatat sebagai biaya lain-lain
atau biaya entertainment yang tak bisa didukung dengan daftar entertainment.
f. Penyertaan pada Perseroan Terbatas Dalam
Negeri
Penyertaan modal saham pada PT dalam
negeri dapat dilakukan atas nama PT atau perorangan. Apabila modal saham atas
nama perorangan, dividen yang diperolah perorangan tersebut dikenakan PPh Pasal
23. Akan tetapi, apabila modal sahamnya atas nama PT dan atau BUMN/D,
sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 ayat 3 huruf f UU PPh, penerimaan dividen
tersebut bukan merupakan objek pajak sepanjang dipenuhi kriteria berikut:
1) Dividen
tersebut berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan
2) Kepemilikan
saham Perseroan Terbatas dan BUMN/D pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% dari jumlah modal yang disetor, dan
3) Perseroan
Terbatas dan BUMN/D tersebut harus memiliki usaha aktif di luar kepemilikan
saham tersebut.
Syarat yang tercantum di butir a di atas
mengandung pengertian bahwa kalau ternyata dividennya tidak dibagikan dari
Retained Earning, tapi dari konversi agio saham, dividen tersebut otomatis
menjadi objek pajak. Untuk PT dan BUMN/D yang hanya bersifat sebagai investment
holding dan memperoleh penghasilan hanya dari dividen anak perusahaan, sesuai
dengan persyaratan di atas, dividen tersebut menjadi objek pajak. Agar dividen
tersebut diperlakukan sebagai non objek pajak, investment holding company
tersebut harus punya usaha aktif secara minimal.
g. Merger antara Perusahaan yang Terus Menerus
Rugi dengan Perusahaan yang Laba
Dalam satu kelompok usaha kadangkala
terdapat perusahaan yang terus merugi selama beberapa tahun, sedangkan
perusahaan lainnya mudah menghasilkan laba. Secara kelompok perusahaan harus
membayar PPh Badan atas laba yang lebih besar dari laba sebenarnya. Menurut
Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-21/PJ.42/1999 tanggal 26 Mei 1999, bila
kedua perusahaan tersebut digabungkan, akumulasi kerugian perusahaan yang
merugi tersebut dapat dialihkan ke perusahaan gabungan sepanjang sebelumnya
telah dilakukan revaluasi aktiva tetap. Bila kedua perusahaan tersebut
digabungkan, secara konsolidasi perusahaan membayar atas laba sebenarnya.
h. Transaksi
Afiliasi
1. Jenis
transaksi afiliasi yang sangat berisiko bila ditinjau dari aspek perpajakan, di
antaranya:
a)
Untuk transaksi usaha, Dirjen Pajak berwenang menentukan kembali
besarnya penghasilan dan biaya untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak
bagi wajib pajak yang memiliki hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnnya
sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa.
b) Untuk
pinjaman, Dirjen Pajak berwenang untuk menentukan tingkat bunga yang wajar atas
transaksi utang piutang antar pihak yang mempunyai hubungan isitimewa. Hal ini
berarti akan merugikan perusahaan karena perusahaan harus memotong PPh Pasal 23
berdasarkan tingkat bunga wajar dan ada kemungkinan dikenakan sanksi oleh pihak
pajak karena kurang memotong. Bagi perusahan induk, atas penghasilan bunga
tersebut akan dikoreksikan positif sehingga laba kena pajak akan lebih tinggi
c) Atas
transaksi utang piutang berupa reimbursment cost yang biasa dilakukan antar
induk dan anak perusahaan memiliki kemungkinan adanya implikasi perpajakan
berupa kewajiban memungut PPN dan/ atau memotong PPh Pasal 23. Hal ini dapat
terjadi apabila pihak pajak mengindikasikan adanya objek pemungutan PPN dan
objek pemotongan pajak atas transaksi utang piutang affiliasi tersebut.
2 Hal-hal
yang harus dilakukan:
a) Diupayakan
semaksimal mungkin agar transaksi pembelian barang atau pun pemanfaatan jasa,
yang biasanya dilakukan melalui induk perusahan, dapat dilakukan langsung oleh
perusahaan yang menggunakannya. Dengan demikian, tidak muncul adanya transaksi
utang afiliasi antara anak perusahaan dengan induk perusahaan. Dengan cara ini,
dapat diminimalkan risiko adanya pemungutan PPN maupun pemotongan PPh Pasal 23
karena transaksi utang piutang afiliasi.
b) Dalam
hal dilakukan pemberian pinjaman kepada anak perusahaan tanpa bunga, harus
terpenuhi kriteria sebagaimana disebutkan dalam Surat Dirjen Pajak No.
S-165/PJ.312/1992 tanggal 15 Juli 1992 yaitu :
(1) Pinjaman
tersebut berasal dari dana milik pemegang saham pemberi pinjaman itu sendiri
dan bukan berasal dari pihak lain.
(2) Modal
yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman kepada perusahaan
penerima pinjaman telah setor dalam keadan seluruhnya.
(3) Pemegang
saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan rugi.
(4) Perusahaan penerima pinjaman sedang
mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.
Apabila
salah satu dari keempat unsur di atas tidak terpenuhi, atas pinjaman tersebut
akan dilakukan koreksi oleh kantor pajak dan menjadi terutang bunga dengan
tingkat bunga wajar. Hal ini akan menambah beban biaya bagi perusahaan. Karena
itu, apabila ada transaksi pinjam meminjam antara perusahaan dengan induk
perusahaan, perlu dibuat perjanjian pinjaman yang sekurang-kurangnya memuat
tentang pokok pinjaman, jangka waktu, dan tingkat bunga yang dibebankan.
Seandainya tidak ada pembebanan bunga, hal tersebut harus secara tegas
dinyatakan di dalam perjanjian tersebut.
i.
Piutang Tak Tertagih
Menurut UU PPh pasal 6 (1) huruf h,
piutang yang nyata-nyata tidak dapat tagih dapat dibebankan sebagai biaya
dengan syarat :
1) Telah
dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan rugi-laba komersial;
2) Telah
diajukan perkaranya ke Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/
pembebasan utang antar kreditur dan debitur yang bersangkutan
3) Telah
dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan
4) Wajib
Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
DirjenPajak.
Keempat syarat tersebut bersifat
kumulatif, sedangkan syarat kedua dan ketiga tersebut tidak mudah dilakukan
oleh perusahaan. Syarat kedua dapat dilakukan dengan memberitahukan bukti
publikasi yang sudah didapatkan. Alternatif lain yang dapat dilakukan yaitu
dengan menjual piutang kepada pihak lain (debt factoring) dengan harga setelah
dikurangi penghapusan piutang yang tertagih tersebut dan mengurangkan kerugian
penjualan tersebut sebagai beban.
j.
Bunga Pinjaman dan
Deposito
Seringkali uang kas yang menganggur
(idle cash) untuk satu atau dua bulan perusahaan investasikan di bank dalam
bentuk deposito berjangka. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 131 tahun 2000, atas bunga deposito dipotong pajak penghasilan yang
bersifat final sebesar 20%. Bila perusahaan tidak mempunyai utang, hal ini
tidak menjadi masalah. Akan tetapi, bila perusahaan tersebut mempunyai utang
dengan tingkat bunga yang lebih besar dari tingkat bunga deposito, perusahaan
tersebut akan mengalami kerugian karena berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak
Nomor SE-46/PJ.42/1995, sebagian bunga atas utang tersebut tidak dapat
dikurangkan sebagai biaya. Untuk menghindari masalah tersebut, beberapa cara
yang dapat ditempuh perusahaan, antara lain:
1) Perusahaan
sebaiknya menempatkan dana yang belum dipergunakan dalam bentuk rekening giro,
tidak dalam bentuk deposito. Jika memungkinkan dilakukan negosiasi dengan bank
yang bersangkutan agar bunga gironya lebih besar dari biasanya karena saldo
yang kita miliki cukup besar.
2)
Alternatif lain yang dapat diambil adalah dengan memanfaatkan dana tersebut di
dalam instrumen keuangan yang tidak terkena pajak final, misalnya promes,
didepositokan di luar negeri, atau dipinjamkan pada perusahaan afiliasi.
k. Biaya
Entertaiment
Seringkali perusahaan dalam penyusunan
laporan keuangan fiskal langsung melakukan koreksi fiskal positif atas biaya
entertainment. Dengan demikian, perusahaan akan membayar pajak lebih besar 30%
dari total biaya entertainment yang dikoreksi positif. Untuk menghindari beban
pajak yang seharusnya, perusahaan membuat Daftar Nominatif dan melampirkannya
dalam SPT Tahunan PPh Badan serta menyimpan bukti pendukung pengeluaran
entertainment tersebut. Dengan demikian, perusahaan akan memperoleh penghematan
pajak sebesar 30% dari biaya entertainment yang boleh dikurangkan. Daftar
nominatif berisi :
1) Nomor
urut.
2) Tanggal
“entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
3) Nama
tempat “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
4) Alamat
“entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan
5) Jenis
“entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
6) Jumlah
(Rp) “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
7) Relasi
usaha yang diberikan “entertainment” dan sejenisnya sesuai dengan nomor urut
tersebut di atas (Nama, Posisi, Nama perusahaan, dan Jenis usaha)
Kadangkala perusahaan juga membebankan
pemberian uang tips, uang pengurusan dokumen atau izin, uang jamuan pimpinan
proyek ke dalam biaya entertainment atau biaya lain-lain, sementara daftar
nominatifnya tidak dapat dibuat. Sebagai konsekuensinya, pada akhir tahun biaya
entertainment yang tidak didukung daftar nominatif harus dikoreksi ketika
menghitung PPh Badan. Agar penghematan PPh dapat dilakukan, perusahaan dapat
mereklasifikasi biaya tersebut ke dalam pemberian honor atau imbalan kepada
pihak ketiga. Penghitungan pajaknya dilakukan dengan cara gross-up sehingga
penghematan pajaknya dapat dilakukan secara optimal. Akan tetapi bila
perusahaan merugi, PPh Badannya akan nihil sehingga pembebanan ke biaya
entertainment dapat dilakukan untuk menghemat pajak.
Strategi efisiensi PPh Badan yang
berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan ini sangat tergantung dari
kondisi perusahaan.
1) Pada
perusahaan yang memperoleh Penghasilan Kena Pajak yang telah dikenakan tarif
tertinggi (di atas Rp. 100 juta) dan pengenaan PPh Badannya tidak final,
diupayakan seminimal mungkin diberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk
natura dan kenikmatan (benefit in kind) karena pengeluaran ini non-deductible
2) Bagi
perusahaan yang masih rugi, pemberian natura dan kenikmatan (fringe benefit )
akan menurunkan PPh Pasal 21 sementara PPh Badan tetap nihil
Untuk efisiensi beban pajak, sewa guna
usaha dengan hak opsi (finance lease) sebaiknya dipilih karena jangka waktu
leasing umumnya lebih pendek dari umur aktiva dan seluruh pembayaran leasing
(pokok dan bunga) dapat dibiayakan.
Misalnya, dibeli kendaraan operasi secara capital lease. Harga tunainya
Rp 100 juta, uang muka Rp 35 juta dan bunga untuk tenor 3 tahun sebesar Rp 19,5
juta dan cicilan per bulan Rp 2.347.222 yang sudah termasuk pokok dan bunga.
Dengan demikian, biaya pembayaran leasing selama setahun yang termasuk
deductible expense sebesar Rp 28.166.664. Sementara itu, bila kendaraan
tersebut dibeli tidak dengan capital lease, biaya penyusutan yang boleh
dibebankan sebesar Rp 12.500.000.
Ekualisasi antara biaya yang terkait
dengan objek PPh Pasal 21, 23/26, dan 4(2) dan masing-masing SPT Masa PPh
sangat diperlukan agar selisih yang terjadi dapat segera diidentifikasi lebih
dini. Secara ideal ekualisasi ini harus dilakukan sebelum SPT Tahunan PPh Badan
dilaporkan ke kantor pajak. Untuk lebih rincinya, pembahasan hal ini terdapat
di bagian lain.
10. Ekualisasi omzet penjualan menurut
SPT Tahunan PPh Badan dengan penyerahan menurut SPT Masa PPN selama satu tahun
pajak.
Ekualisasi omzet PPh Badan dengan PPN
juga sangat diperlukan sebelum SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan ke kantor pajak
agar selisih yang timbul dapat diidentifikasi lebih dini dan dicarikan
penyebabnya. Untuk lebih rincinya, pembahasan hal ini terdapat di bab lain.
Strategi Perencanaan Pajak Untuk Efisiensi PPh Pasal 21
a. Memahami
Ketentuan PPh Pasal 21 dan Klasifikasi Objek PPh Pasal 21
Dalam
hal ini kita perlu mengetahui apa yang termasuk objek dan bukan objek pajak PPh
Pasal 21, termasuk yang menjadi objek final dan tarifnya sehingga tidak terjadi
kesalahan dalam pemotongannya.
b. Memahami
Saat Terutangnya Pajak
Berdasarkan
ketentuan Pasal 21 UU PPh, objek PPh Pasal 21 terdiri dari penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk
apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
Istilah “diterima” mengandung pengertian cash basis, sedangkan “diperoleh” itu
accrual basis. Kedua istilah ini, jika dikaitkan dengan perlakukan akuntansi,
terkait dengan mana yang lebih dulu antara pengakuan biaya dan pembayaran.
Artinya, pajak harus dipotong pada saat mana yang lebih dulu antara pengakuan
biaya atau pembayaran kepada penerima penghasilan.
c. Memahami
Perlakuan Akuntansi untuk PPh Pasal 21
1)
Pajak ditanggung karyawan
2) Pajak ditanggung karyawan, tapi pemberi kerja
memberikan tunjangan PPh senilai pajak terutang (metode gross-up)
d. Menentukan
benefit in cash atau benefit in kind untuk penghasilan pegawai
11. Strategi efisiensi
PPh Pasal 21 dan PPh Badan yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan
ini sangat tergantung dari kondisi perusahaan.
1. Pada perusahaan yang memperoleh Penghasilan
Kena Pajak yang telah dikenakan tarif tertinggi (di atas Rp. 100 juta) dan pengenaan
PPh Badannya tidak final, diupayakan seminimal mungkin diberikan kesejahteraan
karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan (benefit in kind) karena
pengeluaran ini non-deductible/non objek pajak.
2 Bagi perusahaan yang masih rugi, pemberian
natura dan kenikmatan (fringe benefit ) akan menurunkan PPh Pasal 21 sementara
PPh Badan tetap nihil. Sebagaimana telah dibahas di atas tentang pemberian
kesejahteraan karyawan, perusahaan yang masih rugi perlu meningkatkan
penghasilan karyawan dalam bentuk benefit in kind agar PPh Pasal 21-nya bea
siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
dan kegiatan, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri, di antaranya
terdiri dari pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan
sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial,
dipotong PPh Pasal 21 berdasarkan tarif Pasal 17 UU PPh, yaitu 5%.
1) Akun-akun
yang merupakan objek PPh Pasal 21, khususnya yang terkait dengan pegawai tetap,
dikumpulkan menjadi satu kelompok akun.
2) Untuk
setiap transaksi yang masih terkait dengan objek PPh Pasal 21 dan nantinya
dilaporkan ke dalam formulir 1721-B, harus diberi kode khusus pada
deskripsinya, misalnya #21# di awal deskripsinya. Hal ini untuk memudahkan
proses ekualisasi pada akhir tahun sebelum SPT Tahunan PPh Pasal 21 dilaporkan
ke kantor pajak
3) Pada
akhir tahun seluruh objek PPh Pasal 21 yang tersebar di akun-akun biaya/beban
menurut buku besar dikumpulkan menjadi satu dan ditandingkan dengan perhitungan
menurut SPT Tahunan PPh Pasal 21.
a Jika
masih timbul selisih yang disebabkan oleh penghasilan pegawai tetap yang
dilaporkan di dalam formulir 1721-A, teliti akun yang menampung iuran Jamsostek
dan pastikan bahwa iuran Jaminan Hari Tua tidak termasuk dalam objek PPh Pasal
21.
b Jika
selisih tersebut disebabkan dari penghasilan yang dilaporkan dalam formulir
1721-B, teliti kelompok penghasilan mana yang belum dipotong pajaknya.
a.
Memahami ketentuan PPh Pasal 22 dan
aturan pelaksanaannya.
b.
Khusus untuk perusahaan yang sering
melalukan impor barang dan harus membayar PPh Pasal 22 sebagai prepaid tax,
perlu dicermati hal-hal berikut ini:
1) Pengajuan
SKB dan “uang tambahan”
Di dalam praktiknya seringkali ditemukan
bahwa proses pengajuan SKB PPh Pasal 22 harus membuat perusahaan mengeluarkan
kocek tambahan untuk oknum petugas. SKB seringkali tidak dapat diterbitkan
dengan segera apabila tidak ada “uang tambahan”. Hal sulit memproses
pengeluaran uang dengan segera. Akibatnya, PT MBR meminta PT A untuk menanggung
pajak-pajaknya dan akan menggantinya pekan berikutnya.
Yang terjadi adalah PT A tidak melakukan
pembayaran pajak ke kas negara, tapi tetap membuat bukti pemungutan PPh Pasal
22. Di dalam bukti pemungutan tersebut tertera pihak pemungutnya adalah Kantor
Pelayanan Bea Cukai (KPBC), nama dan tanda tangan pejabat yang berwenang, serta
stempel KPBC tersebut. Atas bukti pemungutan PPh Pasal 22 tersebut, PT A
melakukan penagihan kepada PT MBR melalui mekanisme reimbursement.
c. Khusus
untuk BUMN/D yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 seperti diuraikan
dalam tabel di bagian terakhir dari bab ini, perlu dicermati hal-hal berikut:
1) Pastikan
bahwa pemasok barang bersedia untuk dipungut PPh Pasal 22-nya dan hal ini harus
tertulis di dalam kontrak, Surat Perintah Kerja (SPK), atau dokumen sejenisnya.
2) Lakukan
gross-up terhadap pembelian langsung yang tidak memungkinkan menggunakan
kontrak, SPK atau dokumen sejenisnya, sementara pemasok barang tidak bersedia
untuk dipungut pajaknya sesuai Pasal 22 UU PPh.
a. Pahami
ketentuan yang mengatur PPh Pasal 23 dan tarif pemotongannya.
b. Pahami
saat terutangnya pajak, yaitu saat mana yang lebih dulu antara terutang
(accrual basis) atau dibayarkan (cash basis), yang merujuk pada ketentuan Pasal
23 UU PPh.
c. Pemisahan
antara tagihan material dan jasa
Pastikan
bahwa di dalam kontrak tentang pengadaan jasa, sebagaimana tersebut di tabel di
bagian akhir dari bab ini, kecuali jasa konstruksi dan jasa catering, diatur
mengenai pemisahan antara tagihan material dan jasa. Tujuannya adalah agar
pajaknya hanya dikenakan atas jasanya.
d. Waspadai
penagihan dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja (labor/manpower supplier).
Contoh:
PT
MBR mendapatkan tagihan dari manpower supplier PT X sebesar Rp 100 juta yang
terinci menjadi Rp 10 juta untuk jasa dan Rp 90 juta untuk biaya gaji yang
telah dibayarkan kepada karyawannya yang dipekerjakan di PT MBR. Atas tagihan
tersebut, PT MBR harus memotong PPh Pasal 23 sebesar 6% dari Rp 100 juta, bukan
Rp 10 juta. Alasannya, berdasarkan Pasal 1 Keputusan Dirjen Pajak No.
170/PJ./2002, dijelaskan bahwa pemisahan dapat dilakukan jika terdapat unsur
jasa dan material/barang. Sementara itu, Rp 90 juta yang merupakan biaya gaji
dibayarkan kepada karyawan PT X, bukan PT MBR, sehingga mekanisme reimbursement
tidak dapat dilakukan. Karena itu, pengenaan pajaknya dilakukan atas seluruh
tagihan PT X.
e. Ekualisasi
biaya yang terkait dengan objek PPh Pasal 23
1) Akun-akun
yang merupakan objek PPh Pasal 23, khususnya yang terkait dengan objek PPh
Pasal 23 dikumpulkan menjadi satu kelompok akun.
2) Jika
prosedur di atas tidak dapat ditempuh secara maksimal, atas setiap transaksi
yang terkait dengan objek PPh Pasal 23, harus diberi kode khusus pada
deskripsinya, misalnya #23# di awal deskripsinya. Hal ini untuk memudahkan
proses ekualisasi pada akhir tahun sebelum SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan ke
kantor pajak.
3) Pada
akhir tahun seluruh objek PPh Pasal 23 yang tersebar di akun-akun biaya/beban
menurut buku besar dikumpulkan menjadi satu dan ditandingkan dengan objek pajak
menurut SPT Masa PPh Pasal 23. Jika masih timbul selisih, teliti
a) Apakah
pemotongan pajaknya dilakukan pada saat pengakuan prepaid expenses di neraca
(aktiva).
b) Apakah
terdapat pengakuan provisi biaya atau accrued expense di dalam neraca
(kewajiban) yang belum menimbulkan kewajiban pemotongan pajak.
a. Pahami
ketentuan PPh Pasal 26 secara komprehensif.
b. Pahami
saat terutangnya pajak, yaitu saat mana lebih dulu antara terutang (accrual
basis) atau dibayarkan (cash basis), sebagaimana diuraikan dalam Pasal 26 UU
PPh
c. Pahami
isi tax treaty untuk tiap negara, khususnya yang berkaitan dengan transaksi
yang dilakukan oleh perusahaan di dalam negeri dalam hal pembayarannya dilakukan
ke perusahaan di luar negeri.
1) Tuangkan
klausul tentang kewajiban perusahaan di luar negeri yang menerima penghasilan
untuk :
a) menyediakan
Surat Keterangan Domisili atau SKD (Certificate of Domicile atau CoD) sesuai
dengan tahun diperolehnya penghasilan,
b) memutakhirkan
SKD tersebut setiap tahunnya, dan
c) menyediakan
salinan paspor tenaga ahli asing yang berkunjung ke Indonesia
2) Minimalkan
kunjungan tenaga ahli dari luar negeri sehubungan dengan jasa profesional agar
timetest sebagaimana diatur di dalam tax treaty tidak terlampaui
Banyak perusahaan grup multinasional
menggunakan tax havens sebagai media untuk tidak membayar pajak atas suatu
transaksi. Biasanya sangat mudah untuk menciptakan transaksi tanpa pajak atau
pajak yang sedikit melalui pergeseran pembayaran di negara tax havens.
Misalnya, PT ABC dimiliki oleh SingTel Pte. Ltd. Singapura melalui anak
perusahaannya SPV SingTel Ltd. yang berada di British Virgin Island atau BVI
(sebuah kepulauan kecil yang berada di kepulauan Karibia Amerika). Apabila
dipandang sudah tidak menguntungkan lagi, PT ABC tersebut dapat dijual ke
perusahaan lainnya. Namun demikian, yang dijual adalah saham SingTel Pte. Ltd.
di SPV SingTel Ltd., bukan saham SPV SingTel Ltd. di PT ABC. Sebagai
konsekuensinya, PPh final sebesar 5% sebagaimana diatur dalam Keputusan Menkeu
No. 434/KNK.04/1999 tidak akan dikenakan karena pemilik saham PT ABC secara
langsung tetap perusahaan di BVI.
Strategi
Perencanaan Pajak Untuk Efisiensi PPh Pasal 4 (2)
a. Tingkatkan
pemahaman yang komprehensif terhadap ketentuan PPh Pasal 4(2) khususnya yang
terkait dengan sewa tanah dan atau bangunan.
b. Pahami
saat terutangnya pajak, yaitu saat mana yang lebih dulu antara saat terutang
(accrual basis) atau saat dibayarkan (cash basis)
c. Ekualisasi
biaya yang terkait dengan objek PPh Pasal 4(2)
1) Akun-akun
yang merupakan objek PPh Pasal 4(2), khususnya yang terkait dengan objek PPh
Pasal 4(2) dikumpulkan menjadi satu kelompok akun.
2) Jika
prosedur di atas tidak dapat ditempuh secara maksimal, atas setiap transaksi
yang terkait dengan objek PPh Pasal 4(2), harus diberi kode khusus pada
deskripsinya, misalnya #4(2)# di awal deskripsinya. Hal ini untuk memudahkan
proses ekualisasi pada akhir tahun sebelum SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan ke
kantor pajak.
3) Pada
akhir tahun seluruh objek PPh Pasal 4(2) yang tersebar di akun-akun biaya/beban
menurut buku besar dikumpulkan menjadi satu dan ditandingkan dengan objek pajak
menurut SPT Masa PPh Pasal 4(2). Jika masih timbul selisih, teliti
a) Apakah
pemotongan pajaknya dilakukan pada saat pengakuan prepaid expenses di neraca
(aktiva).
b) Apakah
terdapat pengakuan provisi biaya atau accrued expense di dalam neraca
(kewajiban) yang belum menimbulkan kewajiban pemotongan pajak.
a. Tingkatkan
pemahaman yang komprehensif terhadap ketentuan PPh Pasal 15 seperti tergambar
secara ringkas berikut ini.
b. Pahami
saat terutangnya pajak, yaitu saat mana yang lebih dulu antara saat terutang
(accrual basis) atau saat dibayarkan (cash basis).
c. Ekualisasi
biaya yang terkait dengan objek PPh Pasal 15
1) Akun-akun
yang merupakan objek PPh Pasal 15 dikumpulkan menjadi satu kelompok akun.
2) Jika
prosedur di atas tidak dapat ditempuh secara maksimal, atas setiap transaksi
yang terkait dengan objek PPh Pasal 15, harus diberi kode khusus pada
deskripsinya, misalnya #15# di awal deskripsinya. Hal ini untuk memudahkan
proses ekualisasi pada akhir tahun sebelum SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan ke
kantor pajak.
3) Pada
akhir tahun seluruh objek PPh Pasal 15 yang tersebar di akun-akun biaya/beban
menurut buku besar dikumpulkan menjadi satu dan ditandingkan dengan objek pajak
menurut SPT Masa PPh Pasal 15. Jika masih timbul selisih, teliti :
a)
Apakah pemotongan pajaknya
dilakukan pada saat pengakuan prepaid expenses di neraca (aktiva).
b) Apakah terdapat pengakuan provisi biaya
atau accrued expense di dalam neraca (kewajiban) yang belum menimbulkan
kewajiban pemotongan pajak.
a. Efisiensi
Pajak Keluaran
1) Untuk perusahaan yang berorientasi pada ekspor barang kena
pajak, manfaatkan fasilitas PPN yang diberikan di kawasan berikat. Dalam hal
ini perusahaan harus menjadi Pengusaha di Kawasan Berikat (PDKB). Dengan
demikian, atas ekspor BKP tersebut, PPN terutang sebesar 0%, sedangkan PPN
Masukannya dapat dikreditkan sepenuhnya.
2) Penerbitan faktur pajak keluaran
a) Pastikan bahwa penerbitan faktur pajak sudah
sesuai dengan ketentuan, baik waktu dan validitasnya.
b) Terbitkan faktur pajak keluaran pada akhir bulan berikutnya setelah
bulan penyerahan apabila karakteristik penjualan produknya menunjukkan bahwa
piutang usaha dilunasi dalam jangka waktu lebih dari satu bulan. Dengan cara
demikian, pelunasan PPN Keluaran ke kas negara dapat ditunda.
c) Terbitkan faktur pajak keluaran pada saat menerbitkan faktur
komersial jika karakteristik penjualan produknya menunjukkan bahwa piutang
usaha dilunasi dalam jangka waktu tidak lebih dari satu bulan. Dengan cara
demikian, proses ekualisasi antara omzet penjualan menurut PPh Badan dan
penyerahan menurut SPT Masa PPN lebih mudah dilakukan.
d) Terbitkan faktur pajak pada saat diterima pembayaran termin, khususnya
untuk penyerahan yang didasarkan pada metode prosentase penyelesaian
(percentage-of-completion method), seperti jasa asistensi, jasa audit, atau
jasa konstruksi.
3) Pastikan bahwa faktur pajak yang cacat (void) tetap disimpan
secara baik karena biasanya perusahaan langsung mencetak nomor seri faktur
pajak secara berurutan pada saat faktur pajak tersebut dibuat. Dengan demikian,
pada saat pemeriksa pajak melakukan sampling test dalam bentuk pengurutan nomor
seri faktur pajak keluaran, penemuan nomor yang tidak urut di formulir 1195-A1
dapat langsung bisa diklarifikasi.
4) Pastikan bahwa diskon tercantum di dalam faktur pajak standar
agar dasar pengenaan PPN-nya dapat berkurang sebesar diskon tersebut.
5) Pastikan bahwa item “Harga Jual/Penggantian/Termijn/Uang Muka”
di dalam setiap faktur pajak yang diterbitkan dicoret sesuai dengan petunjuk
“Coret yang tidak perlu”.
6) Lakukan ekualisasi antara omzet penjualan menurut PPh Badan dan
penyerahan menurut rekapitulasi SPT Masa PPN selama satu tahun pajak. Apabila
terdapat selisih, teliti unsur-unsur berikut ini:
a) Penggunaan kurs yang berbeda pada saat
pencatatan ke buku besar yang biasanya digunakan kurs tengah BI dan pada saat
pembuatan faktur pajak yang biasanya digunakan kurs menurut Keputusan Menteri
Keuangan yang terbit setiap minggunya (kurs pajak).
b) Pemakaian sendiri dan/atau pemberian
cuma-cuma yang tidak diakui sebagai penjualan menurut PPh Badan, tapi diakui
sebagai penyerahan terutang PPN.
c) Penjualan di bulan Desember yang faktur
pajaknya dibuat di bulan Januari tahun berikutnya.
d) Objek PPN yang tidak seluruhnya dicatat
pada akun pendapatan usaha, tapi di pendapatan dari luar usaha.
e) Penggunaan percentage-of-completion method
untuk perusahaan konstruksi. Dalam hal ini secara PPh Badan pengakuan
penghasilan sudah menjadi objek PPh, tapi secara PPN pengakuan tersebut belum
merupakan penyerahan yang terutang PPN karena PPN terutang pada saat diterima
pembayaran termin.
b. Efisiensi Pajak Masukan
1) Pastikan bahwa faktur pajak standar yang diterima dari pemasok
tidak cacat
2) Mintakan segera faktur pajak masukan tersebut agar dapat
dikreditkan dengan pajak keluaran pada saat pelaporan SPT Masa PPN
3) Lakukan transaksi dengan pemasok yang telah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak agar seluruh pajak masukannya dapat dikreditkan dan
tanggung jawab renteng sebagaimana diatur di dalam Pasal 33 UU KUP dapat
dihindari (Pasal 33 tersebut sudah dihapus dalam UU Nomor 18 tahun 2007)
4) Tuangkan di dalam klausul perjanjian bahwa PPN, yang dipungut oleh
pemasok, disetorkan dan dilaporkan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang
berlaku. Apabila tidak, sanksi dapat dikenakan terhadap pemasok yang
wanprestasi. Hal ini perlu dilakukan karena pada saat pemeriksaan petugas
selalu menempuh prosedur konfirmasi atas setiap PPN yang telah dipungut.
Konfirmasi dilakukan pada KPP tempat pemasok tersebut terdaftar. Apabila
jawaban konfirmasinya negatif, otomatis pemeriksa pajak tidak dapat mengakui
pengkreditan yang telah dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang tengah
diperiksa.
Setelah tahap perencanaan, maka langkah
selanjutnya adalah mengimpelementasikannya baik secara formal maupun material.
Harus dipastikan bahwa pelaksanaan kewajiban perpajakan telah memenuhi
peraturan perpajakan yang berlaku. manajemen pajak tidak dimaksudkan untuk
melanggar peraturan dan jika dalam pelaksanaanya menyimpang dari peraturan yang
berlaku, maka praktik tersebut telah menyimpang dari tujuan manajemen pajak.
Untuk mencapai tujuan manajemen pajak ada dua
hal yang perlu dikuasai dan dilaksanakan, yaitu :
a) Memahami ketentuan peraturan perpajakan
b) Menyelenggarakan pembukuan yang
memenuhi syarat
Apabila implementasi tax planning pada
perusahaan dilakukan secara baik dan benar, hal tersebut akan memberikan
beberapa manfaat bagi perusahaan yang diantaranya, adalah:
1) Penghematan kas keluar, pajak dianggap
sebagai unsur biaya yang dapat diminimalisasi dalam proses operasional
perusahaan.
2) Mengatur aliran kas, dengan tax
planning yang dikelola secara cermat, perusahaan dapat menyusun anggaran kas
secara lebih akurat, mengestimasi kebutuhan kas terhadap pajak dan menentukan
waktu pembayarannya, sehingga tidak terlalu awal atau terlambat yang mengakibatkan
denda atau sanksi.
.
Pengendalian pajak bertujuan untuk
memastikan bahwa kewajiban pajak telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah
direncanakan dan telah memenuhi persyaratan formal maupun material. Hal terpenting
dalam pengendalian pajak adalah pemeriksaan pembayaran pajak. Oleh sebab itu,
pengendalian dan pengaturan arus kas sangat penting dalam strategi penghematan
pajak.
Ada beberapa cara yang biasanya
dilakukan atau dipraktekkan wajib pajak untuk meminimalkan pajak yang harus
dibayar (Sophar Lumbantoruan, 1996), yaitu:
a) Pergeseran pajak, merupakan pemindahan
atau mentransfer beban pajak dari subjek pajak kepada pihak lain, dengan
demikian orang atau badan yang dikenakan pajak mungkin sekali tidak menanggungnya.
b) Kapitalisasi,
merupakan pengurangan harga objek pajak sama dengan jumlah pajak yang akan
dibayarkan kemudian oleh pembeli.
c) Transformasi,
merupakan cara pengelakan pajak yang dilakukan oleh pabrikan dengan cara
menanggung beban pajak yang dikenakan terhadapnya.
d) Tax
Evasion,
e) Tax
Avoidance,
Motivasi
yang mendasari dilakukannya suatu perencanaan pajak.
Ada
3 (tiga) unsur perpajakan yang memotivasi dilakukannya perencanaan pajak:
1. Kebijaksanaan Perpajakan (Tax Policy)
Kebijakan
perpajakan merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang hendak dituju dalam
sistem perpajakan.
Terdapat
faktor yang mendorong dilakukannya suatu perencanaan pajak, yaitu:
a) Pajak yang akan dipungut
b) Siapa yang akan dijadikan subjek pajak
c) Apa saja yang merupakan objek pajak
d) Berapa besarnya tarif pajak
e) Bagaimana prosedurnya
2. Undang-undang Perpajakan (Tax Law)
Kita menyadari bahwa kenyataannya di manapun
tidak ada undang-undang yang mengatur setiap permasalahan secara sempurna, maka
dalam pelaksanaannya selalu diikuti oleh ketentuan-ketentuan lain(Peraturan
Pemerintah Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan dan DIrektur Jendral
Pajak), maka tidak jarang ketentuan pelaksanaan tersebut bertentangan dengan
Undang-undang itu sendiri karena disesuaikan dengan kepentingan pembuat
kebijaksanaan dalam mencapai tujuan lain yang ingin dicapainya.
3. Administrasi Perpajakan (Tax Administration)
Secara umum motivasi dilakukannya
perencanaan pajak adalah memaksimalkan laba setelah pajak karena pajak itu ikut
mempengaruhi dalam pengembalian keputusan atas suatu tindakan dalam operasi
perusahaan untuk melakukan investasi dengan cara menganalisis secara cermat dan
memanfaatkan peluang atau kesempatan yang ada dalam ketentuan peraturan yang
sengaja dibuat oleh pemerintah untuk memberikan perlakuan yang berbeda atas
objek yang secara ekonomi hakikatnya sama (karena pemerintah mempunyai tujuan
lain tertentu) dengan memanfaatkan:
1.
Rate of tax
Terpilihnya tarif pajak sebagai alat tax planning
karena disadari bahwa semakin tinggi tarif yang dikenakan, beban pajak yang
harus dibayar oleh wajib pajak semakin besar. Yang dihindari dalam hal ini
adalah marginal rates of tax bukan rata-rata tarif pajak yang
ditanggung.
2.
Base of tax
Perilaku wajib pajak jika melakukan Tax Planning
yang didasarkan pada base of tax akan berhadapan dengan pilihan
mengenakan dirinya untuk dibebani pajak dari pendapatan tabungan, investasi
atau dari sumber lainnya. Dengan membuat tabel berapa tarif pajak atas
masing-masing penghasilan dikaitkan dengan tingkat pengembalian (yield
required) dari investasi yang diinginkan, wajib pajak akan dapat memilih
yang paling menguntungkan (pajak yang minimal).
3. Loopholes
Keadaan ini
dimungkinkan oleh karena terdapat celah ketentuan perundang-undangan perpajakan
untuk membayar pajak lebih sedikit atau bahkan tanpa membayar sama sekali
misalnya terhindarnya PPh atas bunga sertifikat Bank Indonesia apabila deposan
Indonesia membeli SBI lewat bank di luar negeri.
4. Tax Shelter
Wajib pajak
memanfaatkan kesempatan mengurangi beban pajak oleh karena adanya fasilitas di
dalam undang-undang perpajakan yang memang sengaja diberikan pemerintah,
seperti diperkenankan penyusutan dipercepat di Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu (KAPET).
5. Tax Havens
Wajib pajak
memanfaatkan kesempatan mengurangi beban pajak oleh karena negara tertentu
menganut paham no-tax havens untuk income tax seperti pada Cayman Island atau
hanya mengenakan pajak pada pendapatan lokal saja (taxing only local income)
seperti di Liberia, special privilages atas penghasilan International Business
Companies seperti di Luxemburg, dan low tax havens with treaty benefits bagi
negara yang melakukan tax treaties.
6 comments:
thanks for share, so helpful
thanks for share, so helpful
disini dibahas dari aspek manajemen bahwa tax saving bisa dilakukan dengan: Penundaan Pembayaran Kewajiban Pajak
Menunda pembayaran kewajiban pajak tanpa melanggar peraturan yang berlaku dapat dilakukan melalui penundaan pembayaran PPN. Penundaan ini dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak keluaran sampai dengan batas waktu yang diperkenankan, khususnya untuk penjualan kredit. Dalam hal ini penjual dapat menerbitkan faktur pajak pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan barang.
pertanyaan saya : bukankah faktur harus diterbitkan saat terutangnya PPn atau saat dimana BKP atau JKP diserahkan? jadi ini bagaimana ya maksud kontek point d dari aspek manajemen yang dijelaskan...
disini dibahas dari aspek manajemen bahwa tax saving bisa dilakukan dengan: Penundaan Pembayaran Kewajiban Pajak
Menunda pembayaran kewajiban pajak tanpa melanggar peraturan yang berlaku dapat dilakukan melalui penundaan pembayaran PPN. Penundaan ini dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak keluaran sampai dengan batas waktu yang diperkenankan, khususnya untuk penjualan kredit. Dalam hal ini penjual dapat menerbitkan faktur pajak pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan barang.
pertanyaan saya : bukankah faktur harus diterbitkan saat terutangnya PPn atau saat dimana BKP atau JKP diserahkan? jadi ini bagaimana ya maksud kontek point d dari aspek manajemen yang dijelaskan...
KABAR BAIK!!!
Nama saya Dian Pelangi dari Jakarta di Indonesia, saya adalah perancang busana dan saya ingin menggunakan media ini untuk memberi tahu setiap orang untuk berhati-hati dalam mendapatkan pinjaman di internet, begitu banyak kreditur pinjaman di sini adalah penipu dan mereka ada di sini. curang Anda dengan susah payah uang Anda, saya mengajukan pinjaman sekitar Rp700,000,000 wanita di Malaysia dan saya kehilangan sekitar 27 juta tanpa mengambil pinjaman, saya membayar hampir 27 juta masih saya tidak mendapatkan pinjaman dan bisnis saya adalah Tentang menabrak karena hutang.
Sebagai pencarian saya untuk perusahaan pinjaman pribadi yang andal, saya melihat iklan online lainnya dan nama perusahaannya adalah WORLD LOANS COMPANY. Saya kehilangan jumlah 13 juta dengan mereka dan sampai hari ini, saya tidak pernah menerima pinjaman yang saya usulkan.
Tuhan jadilah kemuliaan, teman-teman saya yang mengajukan pinjaman juga menerima pinjaman semacam itu, mengenalkan saya kepada perusahaan yang dapat dipercaya dimana Ibu Christabel bekerja sebagai manajer cabang, dan saya mengajukan pinjaman sebesar Rp700.000.000 dan
Saya sangat senang karena ALLAH menggunakan teman saya yang menghubungi mereka dan mengenalkan saya kepada mereka dan karena saya diselamatkan dari membuat bisnis saya melonjak ke udara dan dilikuidasi dan sekarang bisnis saya terbang tinggi dalam bahasa Indonesia dan tidak ada ntak
Ibu Christabel melalui email: (christabelloancompany@gmail.com)
Anda masih bisa menghubungi saya jika Anda memerlukan informasi lebih lanjut melalui email: (lianmeylady@gmail.com)
Sekali lagi terima kasih untuk membaca kesaksian saya, dan semoga Tuhan terus memberkati kita dan memberi kita hidup yang panjang dan sejahtera dan semoga Tuhan melakukan pekerjaan baik yang sama dalam hidup Anda.mereka meminta surat kepercayaan saya, Dan setelah mereka selesai memverifikasi detail saya, pinjaman tersebut disetujui untuk saya dan saya pikir itu adalah sebuah lelucon, dan mungkin inilah salah satu tindakan curang yang membuat saya kehilangan uang, tapi saya tercengang. Ketika saya mendapat pinjaman saya dalam waktu kurang dari 24 jam dengan suku bunga rendah 2% tanpa agunan.yang akan mengatakannya Dia tidak tahu tentang perusahaan mode saya
Jadi saya saran setiap orang yang tinggal di Indonesia dan negara lain yang membutuhkan pinjaman untuk satu tujuan atau yang lain untuk silahkan ko
Post a Comment