Friday, September 19, 2014

Istishna

Posted by Akuntansi at 7:24 AM
A.      Pengertian Istishna’
Lafal istishna’ berasala dari akar kata shana’a ( صنع) diatambah alif, sin, dan ta’ menjadi istisna’a ( استصنع) yang sinonimnya ,  طلب أن يصنعه له artinya : “meminta untuk dibuatkan sesuatu 
Pengertian istishna’ menurut istilah tidak jauh berbeda dengan menurut bahasa. Wahbah zuhaili mengemukakan pengertian menurut istilah ini sebagai berikut :تعريف الإستصناع هوعقد مع صا نع علي عمل شيء معين في الذمة, أي العقد على شراء ما سيصنعه الصا نع و تكون العين ولعمل من الصنع.“ defenisi istishna’ adalah suatu akad beserta seorang produsen untuk mengerjakan sesuatu yang dinyatakan dalam perjanjian ; yakni akad untuk membeli sesuatu yang dibuat oleh seorang produsen dan barang serta pekerjaan dari pihak produsen tersebut.” 
Ali Fikri memberikan defenisi istishna’ sebagai berikut :الإ ستصنا ع هو طلب عمل شيء خاص على وجه مخصوص ما دته من طرف الصنع. istishna’ adalah suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang tertentu menurut cara tertentu yang materinya ( bahannya ) dari pihak penbuat ( tukang ).” 
Dari defenisi-defenisi yang dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa akad istishna’ adalah akad antara dua pihak dimana pihak pertama ( orang yang memesan/ konsumen ) meminta kepada pihak kedua ( orang yang membuat/ produsen ) untuk dibuatkan suatu barang, seperti sepatu, yang bahannya dari pihak kedua ( orang yang membuat/ produsen ). Pihak pertama disebut mustashni’ , sedangkan pihak kedua, yaitu penjual disebut shani’ , dan sesuatu yang menjadi objek akad disebut mushnu’ atau barang yang dipesan ( dibuat ). Apabila bahan yang dibuat berasal dari mustashni’ bukan dari shani’ maka akadnya bukan istishna’ melainkan ijarah. Namun demikian sebagian fuqaha mengatakan bahwa objek akad ishtisna’ itu hanyalah pekerjaan semata, karena pengertian istishna’ itu adalah permintaan untuk membuatkan sesuatu, dan itu adalah pekerjaan.[1] 
Istishna’ adalah akad yang menyerupai akad salam , karena bentuknya menjual barang yang belum ada (ma’dum) dan sesuatau yang akan dibuat itu pada akad ditetapkan dalam tanggungan pembuat sebagai penjual. Hanya saja ada beberapa perbedaan dengan salam karena :1.      Dalam ishtisna’ harga atau alat pembayarana tidak harus dibayar dimuka seperti pada akad salam.2.      Tidak ada ketentuan tentang lamanya pekerjaan dan saat penyerahan.3.      Barang yang dibuat tidak harus ada dipasar.Dari sisi lain ishtisna’ ini hampir sama dengan ijarah ( sewa –menyewa ), namun berbeda dengan ijarah , karena dalam istisna’ si pembuat atau produsen  menggunakan barang atau bahan yang dibuat dari hartanya sendiri bukan dari harta mustasyi’ atau pemesan.

B.       Dasar Hukum Istishna’Landasan hukun untuk istishna’ secara tekstual memenag tidak ada. Bahkan menurut logika, istishna’ ini tidak diperbolehkan, karena objek akadnya tidak ada. Namun , menurut Hanafiah, akad ini diperbolehkan berdasarkan istihsan, karena sudah sejak lama istishna’ ini dilakukan oleh masyarakat tanpa ada yang mengingkarinya, sehingga dengan demikian hukum kebolehannya itu digolongkan kepada ijma’ Mengenai ijma’ ini Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda :اًن أمتي لا تجتمع على ضلا ل فأ فعليكم بسّواد الآ عظم“sesungguhnya ummatku tidak akan bersepakat unutk kesesatan, apabila kamu melihat ada perselisihan, maka ikutilah kelmpak yang banyak. ( HR. Ibnu Majah )Mazhab Hanafi Menyetujui Istishna’ atas dasar Istihsan karena alasan-alasan berikut ini.1. Masyarakat telah mempraktekkan bai’ al-Istishna’ secara luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan bai’ al-istishna sebagai kasus ijma’ atau konsensus umum.2. Di dalam Syariah di mungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma’ ulama3. keberadaan bai’ al-istishna’ di dasarkan atas kebutuhan masyarakat. Banyak orang seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar sehingga mereka cenderung untuk melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk mereka.4. Bai’ al-istishna’ sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.Sebagian Fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’ adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga terjadinya kemungkinan perselisihan atas jenis dan kualitas suatu barang dapat di minimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang tersebut.Menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, akad istishna’ dibolehkan atas dasar akad salam, dan kebiasaan manusia. Syarat-syarat yang berlaku unutk salam juga berlaku untuk akad istishna’. Diatara syarat tersebut adalah penyerahan seluruh harga ( alat pembayaran ) didalam majelis akad. Seperti halnya akad salam, menurut Syafi’iyah, istishna’ itu hukumnya sah, baik masa penyeangan barang yang dibuat ( dipesan ) ditentukan atau tidak, termasuk diserahkan secara tunai. C.      Rukun dan Syarat Istishna’Rukun istishna’ menurut Hanafiyah adalah ijab dan qabul. Akan tetapi menurut jumhur ulama, rukunistishna’ ada tiga yaitu sebagai berikut :a)      ‘Aqid yaitu shani’ ( orang yang membuat/ produsen ) atau penjual dan mustashni’ ( orang yang memesan/ konsumen ), atau pembeli.b)      ma’qud ‘alaih , yaitu ‘amal ( pekerjaan ), barang yang dipesan, dan harga atau alat pembayaranc)      shighat atau ijab dan qabul.Adapun syarat- syarat istishna’ adalah sebagai berikut :a)      Menjelaskan tentang jenis barang yang dibuat, macam, kadar, dan sifatnya karena barang tersebut adalah barang yang dijual ( objek akad ).b)      Barang tersebut harus berupa barang yang berlaku muamalat diantara manusia, seperti bejana, sepatu, dan lain-lain.c)      Tidak ada ketentuan mengenai tempo penyerahan barang yang dipesan. Apabila waktunya ditentukan, menurut Imam Abu Hanifah, akan berubah menjadi salam dan berlakulah syarat-syarat salam, seperti penyerahan alat pembayaran ( harga ) dimajelis akad. Sedangkan menurut Imam Abu Yusuf dan Muhammad, syarat ini tidak diperlakukan. Dengan demikian menurut mereka, istishna’ itu hukumnya sah, baik waktunya ditentukan atau tidak, karena menurut adat kebiasaan, penentuan waktu ini bisa digunakan dalam akad istishna’ .[2] 
D.      Aplikasi istishna’ dalam perbankan syari’ah

Dalam perbankan syariah prinsip pokok ( satandar ) minimal dalam pembiayaan istisna’ ada beberapa hal yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut :1.      Istishna’ adalah sistem jual beli yang dikecualikan, pada harga yang disetujui, ketika pembeli menempatkan order untuk diproduksi, dirakit, atau dibangun, atau melakukan sesuatu yang harus diserahkan pada masa yang akan adatang.2.      Komoditas harus diketahui secara spesifik sampai tidak ada keraguan mengenai spesifikasinya. Termasuk jenis, kualitas, dan kuantitas.3.      Harga barang yang akan diproduksi harus sudah dipatok dalam angka absolut dan tidak kabur. Harga yang disepakati dapat dibayar secara tangguh ataupun dicicil sesuai kesepakatan kedua belah pihak.4.      Penyediaan kebutuhan material yang dibutuhkan unutk memproduksi komoditas menjadi tanggung jawab pembeli.5.      Kecuali disepakati bersama, masing- masing pihak dapat membatalkan kontrak sepihak jika penjual belum menanggung ongkos apapun, langsung maupuun tidak langsung.6.      Jika barang yang diproduksikan sesuai dengan baranag yang disepakati, pembeli tidak dapat menolak unutk menerima barang tersebut, kecuali jika jelas- jelas ada cacat pada barang tersebut. Namun, perjanjian dapat mengatur bahwa jika penyerahan tidak dilakukan dalam jangka waktu yang disepakati, maka pembeli dapat menolak unutk menerima barang.7.      Bank ( pembeli istishna’ ) dapat melakukan kontrak istishna’ paralel tanpa adanya  syarat atau kaitan dengan kontrak istishna’ pertama. Dalam istishna’ pertama bank menjadi pembeli, dan pada istishna’ kedua bank menjadi penjual. Tiap kontrak tersebut harus indipenden dari yang lain8.      Dalam transaksi istishna’, sebelum mendapat penguasaan dari barang tersebut pembeli tidak boleh menjual atau mengalihkan kepemilikan barang kepada orang lain.9.      Jika penjual gagal untuk menyerahkan barang dalam periode yang telah ditentukan, harga komoditas dapat diturunkan sejumlah tertentu per hari sesuai dengan perjanjian.10.  Perjanjian istishna’ dapat menyertakan denda yang dihitung dalam persen dalam perhari/ tahun sesuai kesepakatan yang hanya oleh digunakan utuk dan sosial. Bank juga dapat mengadu kepada pengadilan untuk mendapatkan ganti rugi (solatium ), atas kebijaksaan pengadilan yang harus ditetapkan berdasarkan biaya langsung dan biaya tidak langsung yang timbul, selain biaya kesempatan (opportunity costs ), juga jaminan dapat dijual oleh bank tanpa intervensi dari pengadilan.11.  Jika terjadi kegagalan oleh klien ( sana’i ), bank juga daoat megadu kepada pengadilan untuk mendapatkan ganti rugi kerusakan, atas kebijaksanaan pengadilan, yang harus ditetpkan berdasarkan biaya langsung dan biaya tak langsung, selain biaya kesempatan ( opportunity costs ).[3] 
E.       Istishna’ ParalelDalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontrakator untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya kepada kontrak pertama. Kontrak baru ini di kenal sebagai istishna’ pararel. Istishna’ pararel dapat di lakukan dengan syarat:(a) akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama antara bank dan pembeli akhir dan (b) akad kedua di lakukan setelah akad pertama sah. Ada beberapa konsekuensi saat bank Islam menggunakan kontrak pararel. Diantaranya sebagai berikut.1.            Bank Islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksaaan kewajibannya. Istishna’ pararel atau subkontrak untuk sementara harus di anggap tidak ada. Dengan demikian sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak pararel.2.            Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’ pararel bertanggung jawab terhadap Bank Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan nasabah pada kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua merupakan kontrak pararel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian kedua kontraktersebut tidak memunyai kaitan hukum samasekali.3.            Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang, bertanggung jawab kepada nasabah atas pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewjiban inilah yang membenarkan keabsahan istishna’ pararel, juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada. 
F.       Perbedaan antara Salam dan Istishna’Menurut jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama dengan salam, yakni jual beli sesuatu yang belum ada pada saat akad berlangsung (bai’ al-ma’dum). Menurut fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara salam dengan istisna’, yaitu :1.            Cara pembayaran dalam salam harus di lakukan pada saat akad berlangsung, sedangkan dalam istisna’ dapat di lakukan pada saat akad berlangsung, bisa di angsur atau bisa di kemudian hari.2.            salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula, sedangkan istisna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak bertanggungjawab.Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut Bankir Indonesia mendefinisikan istisna’ sebagai akad antara pemesan dengan pembuat barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual beli suatu barang yang baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam istisna’, bahan baku dan pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika bahan baku di sediakan oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi ijarah.[4]Perbandingan Antara Bai’ as-Salam dan bai’ al-Istishna’
SUBJEK
SALAM
ISTISHNA
ATURAN DAN KETERANGAN
Pokok Kontrak
Muslam Fiihi
Mashnu’
Barang di tangguhkan dengan spesifikasi.
Harga
Di bayar saat kontrak
Bisa saat kontrak, bisa di angsur, bisa dikemudian hari
Cara penyelesaian pembayaran merupakan perbedaan utama antara salam dan istishna’.
Sifat Kontrak
Mengikat secara asli (thabi’i)
Mengikat secara ikutan (taba’i)
Salam mengikat semua pihak sejak semula, sedangkan istishna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab.
Kontrak Pararel
Salam Paralel
Istishna’ Pararel
Baik salam pararel maupun istishna’ pararel sah asalkan kedua kontrak secara hukum adalah terpisah.
 Contoh kasus bai’ Istishna’KasusSebuah perusahaan konveksi meminta pembiayaan untuk pembuatan kostum tim sepak bola sebesar Rp. 20 juta. Produksi ini akan dibayar oleh pemesannya dua bulan yang kan datang. Harga sepasang kostum dipasar biasanya Rp 40.000,00 sedangkan perusahaan itu hanya bisa menjual kepada Bank sebesar Rp 38.000,00.JawabanDalam kasus ini, produsen tidak ingin diketahui modal produk pembuatan kostum tersebut. Ia hanya ingin memberikan untung sebesar Rp 2.000,00 per kostum atau sekitar Rp 1 juta ( Rp 20 juta/Rp 38.000,00 X Rp 2.000,00 ) atau 5 persen dari modal. Bank bisa menawar lebih lanjut agar kostum itu lebih murah dan dijual kepada pembeli dengan harga pasar

1 comments:

Unknown said...

hadist dari ibnu majah ini diambil dari hadist nomer berapa tentang bab apa kalau boleh tau?

Post a Comment

 

Welcome Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review